Televisi Berjaringan, Kesempatan Daerah Mendapat Panggung di Layar Kaca

Televisi, benda ini selalu membuat kagum dan merangsang imajinasi masa kecil saya. Banyak tokoh idola muncul dan berlaga di dalamnya. Satria Baja Hitam, Sailormoon, hingga Jackie Chan tampil gegap gempita. Hal ini membuat rasa penasaran muncul semasa kanak-kanak. Kekuatan super macam apa yang bisa mengirim Kesatria Baja Hitam dapat muncul setiap sore ke dalam kotak kecil bercahaya di pojok ruang tamu.

Rasa penasaran tersebut mengendap dan terbawa hingga remaja. Ketertarikan dengan audio visual terlebih broadcast mulai terlihat saat menginjak SMA. Saya lebih tertarik menggambar ‘Jimmi Jib’ (semacam crane untuk membuat pergerakan kamera dinamis) di buku catatan kimia ketimbang menulis rumus senyawa. Pun saya lebih tertarik membahas kemunculan ‘Bali TV’, televisi swasta lokal Bali pertama ketimbang membahas helm ‘INK’ yang sedang nge-trend di kalangan SMA pada massa itu.

Yang Nyata Hanya Agenda Setting

Rasa penasaran dan afirmasi yang tinggi membawa saya akhirnya bekerja di industri televisi. Banyak hal yang saya dapat dari bekerja beberapa tahun di industri ini. Bertemu orang-orang terkenal, jalan ke tempat yang tak terpikirkan, prestise, gampang ngerayu cewek (eh…), diperhitungkan di lingkungan tempat tinggal, dan sebagainya.

Selain pengalaman teknis dan kepuasan batin, ada satu hal yang paling melekat, bahwa media massa terutama televisi sangat besar memainkan ‘agenda setting’. Ya, segala sesuatu yang muncul di layar kaca tak ada yang benar-benar riil, bahkan untuk ukuran reality show. Semua by setting sesuai dengan kebutuhan pihak televisi, pesan apa yang ingin ‘disuntikkan’ ke pemirsanya.

McCombs & Shaw menjelaskan bahwa media massa memiliki kekuatan untuk memengaruhi bahkan membentuk pola pikir pemirsanya yang terkena terpaan informasi. Apa yang dibuat penting oleh televisi akan menjadi penting juga oleh pemirsanya. Ayo siapa yang tiba-tiba inget pernikahan Mas Reino dan Mbak Syahrini, Cincin Vicky Prasetyo yang terjatuh, atau justru masih terngiang teriakan “Demi Tuhannnnn…”nya Arya Wiguna?

TV Jakarta di atas Indonesia

Seberapa besar informasi yang kamu konsumsi melalui televisi berguna terhadap kehidupanmu? Bisa jadi sebagian besar tak berguna, tapi kamu tak menyadari dan tetap menganggapnya penting. Kita sering disuguhi kemacetan di jalan Thamrin, Jakarta. Jika dipikir kembali, untuk apa kamu yang tinggal di Denpasar penting banget harus tahu itu? Agar bisa menghindar ke jalan Hayam Wuruk, kalau mau ke Sesetan?

Ini kian lucu saat banjir di Cawang ditonton seantero negeri, dari Sabang sampai Merauke, namun banjir di jalan Noja yang notabene membuat warga Denpasar kesulitan menuju Gatsu Timur, informasinya tak bisa kamu akses di TV yang menggunakan kanal daerahmu. Lebih bikin ngakak lagi misalnya pilkada DKI, yang marah-marah malah orang daerah. Jangan-jangan kamu juga termasuk? Tenang, kalaupun iya, itu bukan 100% salahmu, tapi media yang punya andil besar mengekspos berlebihan. Informasi yang kamu konsumsi di televisi sebenarnya banyak informasi yang bersifat lokal atau regional Jabodetabek tapi disuntikkan ke seluruh Indonesia seakan-akan itu adalah masalah nasional.

Pilkada DKI ditayangkan sangat masif oleh hampir semua televisi. Sumber foto: Kompas.com

Pilkada DKI ditayangkan sangat masif oleh hampir semua televisi. Sumber foto: Kompas.com

Ade Armando mantan komisioner KPI Pusat yang juga dosen komunikasi menyebutnya “TV Jakarta di atas Indonesia”. Bisa dibilang Media Jakarta menyetir opini seluruh masyarakat Indonesia. Oia, pemilik TV yang mengaku nasional tak lebih dari 6 orang, nah lho.

Lokal vs Bukan Lokal

Di beberapa negara demokrasi dengan wilayah geografis besar seperti Amerika, mereka menerapkan stasiun televisi berjaringan. Hal ini untuk mengantisipasi satu media dapat memengaruhi sebagian besar penduduknya. Sehingga pemiliknya dengan leluasa menggiring opini. Di Indonesia, pasca reformasi juga mencoba melakukannya, walaupun  sampai kini tak terlaksana dengan baik. Ditandai dengan lahirnya undang-undang penyiaran No. 32 tahun 2002. Spirit UU ini adalah diversity of content, dan diversity of ownership.

Jadi sederhananya, UU ini mengamanatkan bahwa Televisi yang berniat bersiaran secara nasional harus melepaskan haknya di daerah. Mereka harus membangun stasiun jaringan di daerah, dan memproduksi minimal 10% konten lokal. Kalau masih bingung, contoh berjaringan itu kayak TVRI. Televisi milik pemerintah ini memiliki jaringan di setiap daerah dan mereka memproduksi sekian persen dari acara mereka di daerah.

Baca juga: Menopang Pariwisata, Kemenparekraf Selenggarakan Pelatihan Pengembangan Agrowisata

Harusnya jika UU ini berjalan baik, maka kamu bisa menonton ‘Wayang Ceng Blong’ di SCTV, tak melulu ‘Cinta Fitri’. Namun, ah males ngetiknya, kamu tau sendiri kan penerapannya kayak gimana? Intinya frekuensi itu merupakan Sumber Daya Alam (SDA) terbatas, hanya bisa meng-cover beberapa channel saja, namun itu dipakai sama TV Jakarta dengan tayangan Jakartasentrisnya di Bali. Harusnya frekuensi yang ada di Bali dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pengembangan potensi dan informasi di daerah frekuensi tersebut berada. Gak pengen apa, nonton Calonarang di RCTI?

Yang terjadi sekarang adalah televisi swasta yang menamakan diri TV Nasional mengakali dengan menempel logo nama daerah di bawahnya, atau dengan memutar tayangan yang sempat diproduksi di daerah oleh tim pusat, lalu diputar di jam lokal, biasanya di ‘jam hantu’ (jam-jam dini hari atau pagi buta yang secara komersil murah dan tak ada yang menonton). Jika ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), tentu sangat jauh dari yang diharapkan.

Dahsyatnya Pengaruh Televisi

Kalau kamu pernah dengar remaja Bali ngomong ‘gue elo’ pake logat Bali, nah harusnya kamu bisa menyimpulkan apa penyebabnya. Ya, media. Budaya Jakarta masuk melalui sinetron-sinetron yang disaksikan melalui televisi yang disiarkan dan diproduksi di Jakarta, kemudian di-relay begitu saja oleh stasiun relay mereka di seluruh penjuru Negeri. Banyak sinetron menggambarkan bahwa budaya urban Jakarta adalah budaya yang paling maju dengan kehidupan hedon remaja di dalamnya. Pakaian rapi, bersih, diantar jemput mobil mewah, dan sebagainya.

Sedangkan untuk menggambarkan budaya tertinggal mereka menggambarkan dengan remaja udik asal daerah yang merantau ke Jakarta, tak lupa logat daerah yang menonjol dan minder masuk mall. Penyuntikan stigma yang cukup, hmm… Jika itu disaksikan terus menerus, terpaan informasi tersebut akan dianggap sebuah kebenaran, orang daerah tak akan memiliki kepercayaan diri akan daerah tempat asal mereka. Mereka akan takut dikatakan kampung jika berbicara menggunakan aksen daerah. Tentunya ini bukan salah ‘Jakarta’ secara geografis atau budaya, namun permainan oligarki pemilik media yang terpusat hanya di Jakarta.

Ilustrasi menonton TV. Sumber foto: Liputan6.com

Ilustrasi menonton TV. Sumber foto: Liputan6.com

Melihat dahsyatnya pengaruh televisi dalam menggiring persepsi penontonnya, maka televisi menjadi penting, ikut menggairahkan kebudayaan daerah, mengangkat harkat dan martabat daerah setempat di layar kaca. Hal ini jika dilakukan terus menerus maka dapat membangkitkan rasa cinta dan kebudayaan akan daerah mereka sendiri. Tak akan ada lagi cemoohan dari teman sejawat karena kamu doyan nonton ‘Bondres’ jika citra Bondres diangkat martabatnya oleh TV. Program ‘Dahsyat’ tak hanya akan menjadi panggungnya penyanyi nasional saja, namun mereka akan berbagi panggung juga dengan penyanyi daerah macam Widi Widiana. Coba bayangin Dek Ulik duet sama Pingkan Mambo di ‘Inbox’!

Baca juga: Jasa Video Shooting Profesional / Production House di Bali

Berita bagusnya, belum ada hal yang bisa mendorong saya menonton TV lagi, karena acaranya monoton, dan masih Jakartasentris. Tapi jangan berkecil hati, harapan itu masih ada. Siapa tau nanti penerapan televisi berjaringan terlaksana dengan baik, kita di daerah tidak hanya menjadi penonton saja seperti selama ini, namun juga menjadi bagian dari panggung kotak ajaib yang bernama televisi itu.

Opini ini ditulis oleh Agus Wiranata (Mahasiswa Magister Komunikasi UHN Sugriwa Denpasar), disunting ulang setelah sebelumnya sempat di-publish di Mipmap.id dengan tajuk “Televisi, Agenda Setting dan Kesatria Baja Hitam“.